800.000 TITIK CAHAYA
Oleh : Rendy Saputra
(Dikutip dari WAG)
ummat saat ini memiliki 800.000 gedung yang hanya dipakai 5 jam per hari. Gedung itu bernama : MASJID.
Disinilah awal mula ide pemberdayaan Masjid sebagai asset ummat. Dari pondasi pemikiran ini, kita harus kembali memaknai… sudah sejauh mana kita MEMANFAATKAN 800.000 asset ini.
***
Narasi tentang pemberdayaan masjid ini akan Saya sampaikan secara runut.
Pertama, optimalisasi masjid sebagai sarana ibadah.
Kedua, optimalisasi masjid sebagai titik manajemen ummat.
Ketiga, optimalisasi masjid sebagai asset fisik.
***
Kita masuk pada pemikiran pertama, masjid sebagai sarana ibadah.
Sahabat, masjid biasanya dibangun secara bersama-sama oleh warga, walaupun ada masjid yang memang dibangun oleh pribadi. Perbedaan yang nampak nyata adalah… masjid yang dibangun oleh kekuatan publik biasanya lemah pada pengelolaan, dan masjid yang dibangun personal biasanya terkelola baik. Sederhananya, karena ada sponsor personal yang terus menyuplai kebutuhan perawatan masjid.
Pada ruang pemikiran pertama ini, Saya lebih memodelkan masjid yang memang dibangun bersama.
Masjid yang dibangun bersama berarti dimiliki bersama, dimiliki oleh warga. Artinya ia adalah milik ummat. Didalam bisnis, ummat menjadi “owner” dari masjid.
Tapi disisi lain, masjid juga dituntut melayani ibadah jamaah, maka ummat juga berada pada posisi “market” dalam waktu yang bersamaan.
Yang biasanya belum ada adalah “Dewan Eksekutif” yang memang menjalankan masjid secara profesional. Dewan direksi beserta jajarannya.
Sebagian masjid membentuk Dewan Kepengurusan Masjid (DKM), dan DKM secara sukarela menyisihkan waktu untuk mengurus masjid. Pada pengurus DKM usia produktif, mengurus masjid tidak bisa menjadi aktivitas utama, karena harus bekerja dan berbisnis mencari nafkah. Akhirnya mengurus masjid menggunakan waktu sisa.
Jika para pensiunan mewarnai DKM, aura eksekusinya juga tidak bisa diharapkan cepat, kurang kreatif …karena natural nya organisasi itu dijalankan oleh usia produktif. (Dengan tetap menghargai para pensiunan yang menjadi DKM)
Maka, perlu digagas dewan eksekutif yang profesional dalam kepengurusan masjid. Muda, berkapasitas dan memang full dedikasinya untuk mengurusi masjid.
Artinya…, ada Owner beserta jajaran komisaris dan ada CEO beserta jajaran eksekutornya.
Ide gila nya disini : 1 masjid, harus dikelola oleh 1 CEO profesional dengan kepuasan jamaah sebagai Key Perfirmance Indicator nya.
1 CEO
1 direktur operasional-ibadah
1 direktur keuangan
1 direktur komunikasi-media
1 direktur ziswaf
1 direktur pembinaan jamaah
1 direkrur General Affair
1 CEO… 6 Direktur … 7 BOD.
1 direktorat bisa merekrut lagi 5 staff. Akhirnya 1 masjid bisa menyerap 37 tenaga kerja.
Bayangkan angka 800.000 masjid x 37 tenaga pengelola. Anggaplah dengan masjid kecil, menjadi 20 pengelola per masjid, berarti untuk ranah pelayanan masjid saja, terbuka 16 juta lebih lapangan kerja baru.
Turunan dari cara kerja seperti ini akan sehat. Bapak-bapak DKM tetap elegan menjadi pengurus DKM. Bapak-bapak akan menjadi owner dan mengawasj kerja jajaran eksekutif. Ini mirip owner bisnis ngontrol pekerja.
Kan memang iya, uang ummat menggaji CEO+team dan mereka kembali melayani ummat, diawasi oleh perwakilan ummat… share holders…, namanya DKM.
Selanjutnya, SDM timur tengah yang sudah belajar diinul Islam, Quran, Hadist, akan terberdayakan dengan baik. Jika 1 masjid butuh 1 imam hafidz dan terdidik, maka kita bisa menyerap 800.000 hafidz. 800rb imam, 800rb muadzin.
Selanjutnya, SDM yang sekolah zakat, sekolah ekonomi, bisa duduk di direktorat keuangan dan zakat. Semua terberdayakan. Belum lagi kita bicara direktorat pembinaan jamaah yang akan saya sampaikan detail di poin ketiga.
**
Poin kedua adalah masjid sebagai titik menajemen ummat.
Jika kita bicara manajemen, kita bicara tentang SIAPA yang kita kelola dan BAGAIMANA, mau diapakan.
Jika kita hadir ke sebuah masjid, dan hadir ke jajaran DKM, mari tanyakan hal ini :
1. Berapa KK yang dilayani oleh masjid ini.
2. Ada berapa laki-laki dewasa yang telah sadar menjadi jamaah ini, nama, usia, profesi, keahlian, dan rumahnya dimana.
3. Berapa anak-anak muslim yang harus menjadi perhatian masjid ini.
4. Berapa muslimah…
Terus.. terus dan terus.. data.. data.. dan data.. dan saya yakin.. datanya tidak ada.
Kecuali memang masjidnya profesional.
Saya ingin membuka mata anak bangsa : Jumlah kelurahan dan desa di Negeri ini, menurut data BPS 2016, itu ada 82,030. Ada selisih dengan data lain, tapi bisa dibilang 80.000an
Jika jumlah masjid ada 800.000 dan jumlah desa kelurahan ada 80rb, berarti 1 desa/kelurahan terdapat 10 masjid. Sebuah proporsi yang pas untuk manajemen ummat.
Sahabat, bayangkan,….
Islam menuntun shalat berjamaah 5 waktu di masjid. Berarti ada sekumpulan laki-laki baligh dewasa yang “meet up” 5x sehari. Anehnya, meet up 5x sehari… tetapi hampir tidak ada sinergi yang terjadi. Yang nganggur tetap nganggur, yang sulit kuliah tetap sulit kuliah. Aneh bukan?
Konsep masjid sebagai wahana manajemen ummat, dalam benak Saya adalah benar-benar mengurus dan mensinergikan seluruh kekuatan yang ada dalam tubuh ummat.
Masjid memutuskan sejauh mana rentang wilayah layanannya. Petakan. Tarik area pake spidol. Arsir. Ini wilayah layanan masjid A. Clear.
Lalu masjid mendata seluruh kaum muslimin pada area tersebut, pokoknya yang muslim didata. Mau ke mesjid atau tidak, harus menjadi target layanan masjid. Kan dimandikan dan disholatkannya disitu toh?
Dari data ini akan terbaca, tingkat pendidikan, keahlian, engagement dengan masjid, bahkan sampai kebutuhan dan masalah yang sedang dihadapi.
Lucu donk, ada anak muda bolak balik 5 waktu ke masjid, 5 bulan nganggur, sementara di mesjidnya ada pengusaha yang punya bisnis 100 outlet. Ini gak lucu blasss.
Lucu donk, ada jamaah yang bingung nyari guru private kalkulus anaknya, sementara sarjana matematika bolak balik berjamaah disebelah si bapak.
Pendataan ini adalah fungsi manajamen dan dengan begini… CEO masjid tidak hanya berfikir proses ibadah berjalan baik, tetapi juga beliau memiliki LIST UMMAT yang harus dilayani. Makanya wajar SDM dedicated, karena kerjanya full time.
– bapak itu sudah dapat kerjaan belum?
– ibu itu single parent butuh dicarikan suami nggak?
– anak keluarga itu pinter tapi kok gak kuliah kenapa?
– adek itu kok masih nganggur aja.
– mas itu bisnis kayaknya kurang modal.
Hayuk.. masjid bantu.. kira-kira jamaah kita ada yang punya solusi gak ya?
Bahasan-bahasan seperti ini harusnya menjadi wahana kerja setiap BOD masjid di 800.000 masjid yang ada. Bayangkan… saya membayangkan saja merinding.
Konsep pelayanan seperti ini akan menarik kekuatan donasi ummat lebih besar. Karena ada programnya be-RESONANSI. Ummat Islam Indonesia ini mudah, selama ada program, urunan jalan. Gampang. Asal konkret, komunikasi baik. Semua akan mengalir.
Dengan begini, potensi kekuatan ummat akan hadir. Setiap warga muslim yang terdaftar di masjid tertentu akan terperhatikan. Ikatan-ikatan sosial kita sebagai ummat akan kokoh. Karena masjid hadir bukan hanya sebagai fungsi fisiknya, tetapi fungsi intrinsiknya : melayani kebutuhan ummat
***
Poin ketiga, masjid sebagai asset fisik ummat.
Sahabat, jika Anda berbisnis, Anda pasti memahami usability. Tingkat kegunaan asset yang Anda punya.
Masjid yang dibangun oleh sebagian besar ummat ini, relatif HANYA digunakan 5 waktu dalam sehari. Itu saja. Jika dari adzan hingga selesai dzikir dan doa itu anggaplah 1 jam, maka masjid hanya digunakan 5 jam dari 24 jam yang ada.
Anda punya pabrik, dipakai 5 jam saja.
Anda punya warung, buka 5 jam saja.
Anda punya mesin fotokopi, bekerja 5 jama saja.
Bagaimana perasaan Anda?
Ratusan bahkan miliaran rupiah UANG UMMAT sudah di investasikan untuk bangun masjid, tetapi dipakai hanya 5 jam bahkan kurang per hari. Bagaimana perasaan Anda? Bagaimana guncangan fikiran Anda saat ini?
Dari pemikiran ini, sahabat muslim dengan fikiran pemberdaya, tidak boleh mengijinkan hal ini terjadi. Mubazir.
Mari tantang fikiran kita.
Setelah subuh, masjid lengang mulai pukul 7.00. Coba kita bikin program :
7.00 sd 9.00 : ruang utama masjid jadi wahana kelas hafalan quran untuk remaja yang belum kerja, masih nunggu kuliah, atau memang bisnis, entrepreneur waktunya bebas.
09.00 sd 11.30 : masjid menjadi kampus. Buka kelas non formal. Bikin silabus. Pengajar cari relawan. Masjid dipakai gratis. Berarti mahasiwanya bisa gratis. Ini solusi pendidikan.
Pada jam ini, ibu-ibu relatif sudah antar anak ke sekolah. Bisa dilakukan taklim ibu-ibu. Jika tidak, selasar masjid menjadi wahana pengajaran bikin roti, menyulam, kerajinan, bahkan kejar paket A, B, C. Apa aja… yang penting manfaat untuk ummat.
13.00 sd 15.00 : mata kuliah kedua. Untuk masjid kampus. Selasar bisa adakan kegiatan lain.
16.00 sd 17.00 : TQA dihidupkan, jika sudah banyak anak-anak yang sekolah si SDIT, bisa jadi sekolah Quran untuk jamaah dewasa.
20.00 keatas : dirosah islami, ajarkan ummat shiroh, hadist, fiqh, selesai jam 21.00. Majelis cair terbuka setiap malam.
Pertanyaannya, yang ngajar siapa, SDM nya mana…
kan ada nomor 2 diatas. Masjid banyak uang. Manajemen kokoh. Ada SDM dedicated. SDM pengajar bisa dibayar secara profesional. Dan akan sangat layak.
Intinya mari kita maksimalkan. Bahkan lebih dahsyat lagi, malam harinya bisa gunakan area tertentu untuk tempat inap musafir atau sahabat tunawisma. Kenapa nggak? Semacam shelter inap semalam.
Ambil satu space, lapisi karpet khusus, beri hijab pembatas, jadikan masjid ramah musafir, ramah orang lemah. Disitulah da’wah akan terasa sangat mendalam dihati ummat.
Anak-anak muda bisa wifi-an di masjid. Block aja konten yang negatif.
Beri space berkumpul dan bercengkarama di masjid. Masjid ramah pertemuan.
Ada area masjid untuk playground anak-anak balita. Biar akrab sama masjid, dan saat shalat fardhu dijaga baby sitter khusus. Digaji oleh masjid.
Masjid menjadi tempat bimbel, pelatihan bisnis, diskusi, meet up, yang gak boleh kan jualan di dalam masjid. Pekarangan boleh kayaknya. Banyak koperasi di komplek mesjid kok.
Intinya gunakan. Jangan begitu mau digunakan, ada info : “adik-adik remaja masjid pake acaranya di selasar ya, soalnya karpet masjidnya baru beli”
Ya Salaammm… ini terjadi… aseli… karpet dibelain.. generasi muda Islam gak dikasih tempat… YA Rabb…
**
Tulisan Saya apa adanya. Saya sudah memaksimalkan diri sesopan dan sesantun mungkin. Ini sebabnya, dalam setiap roadshow, Saya selalu minta sesi kuliah subuh ke masjid-masjid.
Alasan pertama biar ada yang jemput paksa shalat subuh. Hehehehe..
Alasan kedua, karena di masjidlah kekuatan utama ummat ini. Itupun kalo dimaksimalkan.
Karakteristik ummat Islam Indonesia ini “wait and see”. Mereka tidak begitu cepat dan inisiatif membangun sesuatu. Pemalu, gak enakan, takut konflik, malas ngasih saran. Keranan masjid bocor aja gak ada yang berani ngasih masukan.
Tetapi ketika ruang-ruang kolaborasi dan sinergi dibuka, maka kekuatan akan datang. Ketika pelayanan jelas terasa, donasi akan hadir berlimpah.
Sama seperti bisnis. Maaf banget. Logika ini harus saya sampaikan.
Jika perusahaan Anda jasa layanannya baik, maka market akan berulang beli layanan Anda. Jika tidak. Market tidak repeat.
Saya merasakan sendiri, jika sebuah masjid progressnya baik, terawat, ekosistem pengelolaannya terasa, maka kita pasti mau dukung maksimal.
Saya secara pribadi berharap, tulisan ini bisa mendorong banyak DKM untuk berbenah diri. Kemudian melangkah berani membangun sistem layanan profesional pada masjid. Dan kemudian menyadarkan ummat Islam, untuk kemudian MENGINDUK ke masjid-masjid terdekat. Shalatlah fardhu di masjid, dan bangunlah ikatan sosial sesam ummat Islam.
Perlu ada keberanian membayar 1 CEO masjid senilai 15 juta rupiah per bulan, ketika memang beliau mampu membangun layanan untuk 1.000 KK muslim, dengan raihan donasi 1M per bulan, baik dari jamaah, donatur corporate ataupun amal usaha masjid. Kenapa tidak?
Jika masjid melakukan 3 fungsi diatas, maka secara cepat kita akan meningkatkan kualitas pendidikan ummat, kualitas ekonomi ummat dan kualitas sosial ummat.
Ummat Islam yang 225 juta ini akan ter urus baik melalui kehadiran masjid-masjidnya yang menjadi simpul layanan sosial.
Pada keadaan yang cukup gelap, maka Saya menyebut masjid sebagai 800.000 titik cahaya.
Teranglah wahai bangsa ku…. nyalakan cahayamu…
Narator Bangsa,
Rendy Saputra